Tentang Sebuah Mimpi dan Pengabdian
oleh Widya pada 13 Desember 2011 pukul 12:40 ·
Baru saja saya lulus kuliah dari jurusan DIII Kebidanan di sebuah
akademi milik Kementerian Kesehatan RI. Setelah melewati berbagai macam
peristiwa berkesan selama menjadi mahasisiwa kebidanan akhirnya hari
kelulusan itu tiba juga. Senang, sedih, terharu, bosan, dan segala macam
perasaan nampaknya sudah pernah saya alami selama kuliah tiga tahun di
kampus yang terletak di Magetan, kota kecilku tercinta. Belajar bersama
dengan 39 teman yang tentu saja semuanya perempuan, dari pagi, siang,
malam, disibukkan dengan setumpuk laporan. Dan begadang adalah hal biasa
bagi kami, karena kami mempunyai kewajiban melengkapi target menolong
50 persalinan. Dan semua kenangan itu tersimpan dengan rapi sampai kapan
pun juga. Teman-teman yang saling mendukung ketika mulai lelah,
pengalaman selama menjadi mahasiswa praktik yang serba salah, setumpuk
tugas-tugas dan sederet aturan sebuah akademi kesehatan demi mendidik
kami menjadi pribadi yang disiplin dan bertanggungjawab. Saya bersyukur
telah memiliki dan melewati masa-masa itu.
Sekarang waktunya untuk memulai kisah baru dalam hidup saya. Saya
sedang belajar bekerja, mencari ilmu dan pengalaman, terjun pada
masyarakat yang sebenarnya.Saya menyadari ilmu saya masih sangat dangkal
untuk terjun langsung ke masyarakat. Banyak sekali yang harus saya
miliki untuk benar-benar menjadi seorang bidan. Baik bekal ilmu maupun
mental, juga spiritual. Maka dari itu kini saya meghabiskan waktu saja
24 jam dalam 7 hari di sebuah Rumah Bersalin.
Menghadapi masyarakat jaman sekarang yang gampang-gampang susah.
Apalagi masyarakat di sini tingkat ekonomi dan pendidikannya tergolong
tinggi. Masyarakat yang terkenal kritis dan jeli. Yang selalu menuntut
pelayanan yang maksimal. Tentu kami berusaha memberi yang terbaik untuk
kepuasan pasien. Bagaimana pun juga kepuasan dan keselamatan pasien
adalah tujuan kami. Tapi terkadang, ada hal-hal yang di luar kendali
kami. Hal-hal tidak terduga yang bisa mengancam ibu dan bayi. Semua itu
kami serahkan pada Alloh SWT tentu saja setelah berusaha semaksimal
mungkin. Walau terkadang setelah berlelah-lelah bekerja ada saja yang
mengganjal, ada saja yang komplain.
Begitulah, resiko kerja kami. Begadang dua hari dua malam adalah
biasa. Menunda makan, mandi, juga terkadang menunda waktu berbuka puasa
hingga larut demi menunggu lahirnya si jabang bayi. Kadang, saya merasa
semua ini berat dan tidak percaya diri.. Menanggung nyawa dua orang
manusia, tapi semua itu berganti bahagia ketika melihat bayi lahir
sehat, ibu selamat. Ada kebahagiaan yang tidak dapat ditukar dengan apa
pun.
Kadang menyesali kenapa memilih jalan ini. Terlalu beresiko, langsung
berhadapan dengan berbagai lapisan masyarakat yang karakternya
berbeda-beda. Banyak profesi lain yang lebih menjanjikan, menyenangkan,
dan resikonya tak terlalu berbahaya. Rasanya ingin mencari hal lain yang
membuat saya enjoy. Tapi perlahan seiring bertambahnya
kedewasaan saya, seiring banyaknya orang dan pengalaman yang saya temui,
saya mulai menyadari betapa mulianya pekerjaan ini. Ada kebahagiaan
tersendiri ketika mengobati pasien, lalu ia datang lagi dengan wajah
berbinar untuk mengucapkan terima kasih karena anaknya sudah sembuh.
Juga ketika pasien post partum pulang dengan menggendong bauh
hatinya, wajah berseri-seri, bahagia sekali. (Apalagi bagi saya yang
belum menikah, sering berandai-andai dalam posisi ibu itu, pasti sangat
membahagiakan momen-momen ini). Lalu beberapa bulan kemudian mereka
kembali untuk imunisasi dengan bayinya yang tumbuh sehat dan
menggemaskan. Memberikan konseling, mereka bertanya lalu kami memberikan
jawaban sehingga menambah informasi tentang kesehatan yang diharapkan
mampu meningkatkan kualitas kesehatan mereka. Sungguh ada kebahagiaan
tersendiri. Juga bagi saya sendiri, kebahagiaan tambahan adalah ketika
seringkali di suatu tempat bertemu dengan ibu-ibu dengan putranya yang
tumbuh besar, dan mereka masih mengingat saya.. J
Itulah apa yang saya rasakan saat ini. Hanya share saja.
Mungkin belum banyak pengalaman saya dibanding ibu-ibu dan rekan-rekan
di luar sana. Tapi yang ingin saya tekankan adalah apa yang saya rasakan
begitu istimewa, dari ketidaksengajaan kuliah di akademi kebidanan,
lalu merasa salah arah, menyesal, bukan cita-cita, tidak sepenuh hati,
lalu sekarang berada dalam perasaan yang merasa berguna, penuh
keikhlasan, dan sebuah kata: pengabdian. Ya, menjadi bidan adalah
pengabdian. Bukan untuk diri sendiri, tapi masyarakat luas. Bukan untuk
harta, tapi tabungan di akhirat.
Menjadi bidan, bukan jalan mengkomersilkan diri. Berharap suatu hari
membuka klinik besar, mewah, dengan kehidupan sosial ekonomi tinggi.
Menjadi bidan bukan langkah untuk mengekspos diri untuk menjadi
seseorang yang dipandang. Bukan pula jalan mencari jodoh,
berbangga-bangga dengan seragam putih-putih. Tanpa menghayati hakikat
pengabdian yang sesungguhnya.
Terimakasih ketidaksengajaanku beberapa tahun yang lalu,
ketidaksengajaan yang kusyukuri hingga sampai di profesi ini.
Terimakasih kedua orang tuaku yang mendukung ketidaksengajaanku hingga
kini. Terimakasih teman-temanku Manyunyu, atas kebersamaan yang rasanya
nano-nano selama tiga tahun ini. Terimakasih barbagai pengalaman, sakit,
patah hati, manis, dan semuanya yang membuat hidupku benar-benar
berwarna. Terimakasih pada kegagalan-kegagalan.. haha.. Saya memang
bukan siapa-siapa sekarang, belum ada sesuatu hal yang saya capai,
seorang job-seeker yang bercita-cita menjadi bidan puskesmas,
tapi satu hal yang saya miliki sekarang yang mungkin tak akan saya
dapatkan jika tidak berkuliah di akademi kebidanan, yaitu keikhlasan
dalam kemanusiaan. Dan suatu saat saya ingin menjadi seperti apa yang
saya cita-citakan, mengabdi pada masyarakat. Sungguh, kenikmatan yang
sangat luar biasa ketika ilmu dan kerja saya berguna bagi orang lain,
apalagi untuk melahirkan seorang bayi mungil, mengawali dimulainya jalan
kehidupan seorang tunas bangsa yang kelak menjadi kebanggaan ayah dan
bunda serta bangsa dan negaranya. Luar biasa.
Semoga Alloh meridhoi dalam segala langkah kami, Semoga Alloh
mengabulkan cita-cita yang telah kugantungkan di salah satu sudut
langit.
Untuk sebuah pengabdian di masa depan..
Magetan, 2011
Widya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar