Euthanasia |
Langit masih pekat... Kala senja yang memerah terengah menyongsong
pungkasan hari. Mega berarak menghias bias-bias langit Jogja. Daun-daun
akasia jatuh kering bertebaran ke sana kemari terbelai semilir angin
yang mengoyak hampa. Gugur dan tersapu begitu saja.
Suatu senja yang syahdu, terdengar lantunan murottal masjid seberang
melafadzkan kalimatullah. Hhh… Ada teduh yang menyeruak ke permukaan
hati kala ayat-ayat itu diperdengarkan. Ada kerinduan yang membuncah
mengelana di ruang-ruang jiwa yang selama ini mati.
Rey tercenung beberapa jenak. Ditatapnya lekat sepasang mata indah di
hadapannya. Ingin dia menyelami lebih jauh mata yang kian layu itu.
Ingin berbaur dengan buliran-buliran air yang kadang menggenang di
pelupuk mata itu. Mata itu kini menggariskan seulas senyum lewat
kerlingnya.
Angin sore masih berembus, menyibak derai-derai rambut Asa yang kian
menipis. Asa yang kadang harus menangis sebelum menjalani kemoterapinya.
Dia tak berani membayangkan rambut-rambutnya rontok dan lama-kelamaan
habis. Kini rambut hitam panjangnya memang mulai rontok.
"Euthanasia," gumam Asa tiba-tiba. Hati Rey sedikit bergetar mendengar
kata itu. Kata yang benar-benar mengusik malam-malam Rey dua tahun lalu.
"Kau tak sedang berpikir melakukannya, kan?" tanya Rey sambil menutupi
cemasnya.
"Kau takut aku akan meninggalkanmu?" Rey mengangguk. Asa tersenyum puas
mendapati jawaban Rey. "Kematianku sudah diatur, kenapa aku nekat
mendahului kehendak-Nya dengan merencanakan kematianku sendiri?" tanya
Asa pada dirinya, mengingat betapa gigihnya dia dulu meminta euthanasia.
Dia tersenyum getir membayangkan Izrail mencabut nyawanya. "Sekarang,
aku tak takut mati karena aku telah menemukanmu. Lebih hebatnya, aku
telah menemukan Yang Memberiku Hidup, Yang Memberiku Penyakit," ujarnya.
Rey tersenyum kaku. Ada haru yang memenuhi rongga jiwanya. Jika tak
takut melihat Asa sedih, dia pasti telah menangis. Dia membayangkan jika
euthanasia itu benar-benar terjadi.
Dua tahun lalu.
Kampus itu telah sepi. Hanya segelintir aktivis kampus terlihat sibuk. "Euthanasia?" Rey terbelalak.
Kampus itu telah sepi. Hanya segelintir aktivis kampus terlihat sibuk. "Euthanasia?" Rey terbelalak.
"Ya, kau mahasiswa kedokteran pasti tahu tentang hal itu."
"Kau tidak berniat melakukannya, kan ?"
"Kau tahu, aku lelah dengan hidupku. Terlebih, saat aku mendapati kenyataan bahwa penyakit ganas sedang menggerogoti tubuhku."
"Kau tidak berniat melakukannya, kan ?"
"Kau tahu, aku lelah dengan hidupku. Terlebih, saat aku mendapati kenyataan bahwa penyakit ganas sedang menggerogoti tubuhku."
"Tapi, kita sedang berjuang mengupayakan kesembuhanmu. Kau harus optimistis. Asa, ayahku akan membawamu ke Singapura!"
"Tapi, aku telah mengambil keputusan untuk hidupku sendiri. Mungkin penyakit inilah yang akan membawaku pada kematian hingga aku benar-benar berpisah dengan kehidupan yang melelahkan ini. Tapi, aku juga tidak sanggup terlalu lama merasakan sakitnya. Euthanasialah jalan keluarnya."
"Tapi, aku telah mengambil keputusan untuk hidupku sendiri. Mungkin penyakit inilah yang akan membawaku pada kematian hingga aku benar-benar berpisah dengan kehidupan yang melelahkan ini. Tapi, aku juga tidak sanggup terlalu lama merasakan sakitnya. Euthanasialah jalan keluarnya."
"Dari mana kau dapat pikiran seperti itu? Benar-benar gila! Jelas-jelas
itu bertentangan dengan agama. Negara pun tidak mengizinkan euthanasia.
Itu sama saja dengan bunuh diri. Tolong lupakan rencanamu itu." Rey
mencoba meyakinkan Asa.
"Aku hanya ingin mengakhiri penderitaanku dengan tenang, tanpa kurasakan lagi sakit seperti ini."
"Asa, di luar sana masih banyak orang yang lebih menderita. Kau harus bersyukur dengan keadaanmu sekarang."
"Asa, di luar sana masih banyak orang yang lebih menderita. Kau harus bersyukur dengan keadaanmu sekarang."
"Sudahlah, Rey. Aku yang menjalani hidupku dan aku yang merasakan
sakitku. Kenapa kamu harus ikut campur?" Asa beranjak dari duduknya. Rey
meraih tangannya.
"Kau harus janji tidak akan membicarakan masalah ini lagi. Aku nggak akan membiarkanmu seperti ini lagi."
"Kau harus janji tidak akan membicarakan masalah ini lagi. Aku nggak akan membiarkanmu seperti ini lagi."
"Kau tak berhak, Rey. Akulah yang memegang kemudi hidupku. Jika aku
lelah dan merasa nggak sanggup lagi, apa aku harus bertahan?"
"Aku sama sekali nggak ngerti dengan jalan pikiran kamu, Asa. Betapa mudahnya kamu mengambil keputusan konyol itu."
"Aku sama sekali nggak ngerti dengan jalan pikiran kamu, Asa. Betapa mudahnya kamu mengambil keputusan konyol itu."
"Tapi, itu juga demi kemanusiaan, Rey. Aku harus melakukannya, dengan
atau tanpa izinmu!" Rey tertunduk lesu, tak habis pikir dengan apa yang
baru saja dikatakan Asa. Euthanasia, suntik mati! Ah, dia memang
benar-benar sakit! Mungkin penyakitnya sudah sampai ke saraf dan
meracuni otaknya.
Asa meninggalkan ruang praktikum itu dengan segenap kecewa. Ya, dia tahu
Rey pasti tak setuju dengan idenya. Yang dia sesalkan, kedatangannya
ternyata sia-sia. Dia tak berhasil mengorek info tentang euthanasia.
Padahal, dia berharap Rey yang sebentar lagi menamatkan pendidikan
dokternya itu akan memberinya gambaran mengenai euthanasia.
Masalah Rey setuju atau tidak, dia tak peduli. Rey tak punya andil dalam
hidup Asa. Rey yang dengan mudahnya memberikan semangat-semangat hidup
tak pernah merasakan sakit dan penderitaannya. Seakan-akan, hidup yang
dilaluinya begitu mudah. Asa tersenyum dalam bekunya, mencibir Rey
dengan segala ucapan-ucapan klisenya.
Masih di kampus itu, pergelaran teater baru saja usai. Asa dan Rey
menyusuri malam di jalan-jalan Jogja. Sebenarnya, Rey tak enak jika
harus berjalan dengan gadis itu. Tapi, tentu dia tak tega membiarkannya
pulang sendirian.
"Selamat, pertunjukan yang menarik. Kau berbakat menjadi sutradara," ucap Rey membuka pembicaraan.
"Hanya sebuah seni yang kudedikasikan untuk hidupku."
"Juga untuk orang-orang di sekelilingmu."
"Tidak. Seni untuk semua kebohongan dan dusta."
"Egois."
"Apa kau pikir kedua tangan ayahmu, dokter terkenal itu, mampu menyembuhkan kanker otakku?"
"Hanya sebuah seni yang kudedikasikan untuk hidupku."
"Juga untuk orang-orang di sekelilingmu."
"Tidak. Seni untuk semua kebohongan dan dusta."
"Egois."
"Apa kau pikir kedua tangan ayahmu, dokter terkenal itu, mampu menyembuhkan kanker otakku?"
"Jika Allah menghendaki, tidak ada yang mustahil dalam hidupmu." Rey menghentikan langkah, menatap Asa.
"Tapi, Dia memang menghendakiku mati karena penyakit ini. Aku memilih mati daripada menderita seperti ini."
"Tapi, Dia memang menghendakiku mati karena penyakit ini. Aku memilih mati daripada menderita seperti ini."
"Kau pintar, Asa. Tapi sayang, kau tak punya mata hati. Padahal, mata
hati itulah yang akan menuntun langkahmu dalam keadaan apa pun. Saat di
ambang maut pun."
"Apa maksudmu aku tak punya mata hati?" Langkah Asa kini terhenti. Menatap Rey dengan penuh tanya.
"Apa maksudmu aku tak punya mata hati?" Langkah Asa kini terhenti. Menatap Rey dengan penuh tanya.
"Hidup ini indah, Asa, jika kamu mau membuka mata hatimu. Ada banyak hal
yang nggak bisa dilihat dengan mata telanjang. Kebahagiaan, kenyamanan,
dan cinta."
"Siapa bilang aku tak punya mata hati? Di hidupku, ada seni dan sastra yang kujiwai dengan hati. Tapi, sebentar lagi kanker otak akan merenggutnya. Perlahan, otakku tak akan lagi mampu menuruti jiwaku. Aku nggak akan bisa menulis puisi lagi, script-script teater. Aku akan kehilangan jiwaku. Lalu, apa artinya hidup?"
"Siapa bilang aku tak punya mata hati? Di hidupku, ada seni dan sastra yang kujiwai dengan hati. Tapi, sebentar lagi kanker otak akan merenggutnya. Perlahan, otakku tak akan lagi mampu menuruti jiwaku. Aku nggak akan bisa menulis puisi lagi, script-script teater. Aku akan kehilangan jiwaku. Lalu, apa artinya hidup?"
"Tanya pada diri kamu, apa yang paling kau rindukan saat ini? Terlalu
lama kau lupakan Dia, yang memberimu hidup, yang memberimu penyakit. Dia
yang memberimu limpahan harta yang kau hamburkan setiap malam di
klub-klub laknat itu. Kini, Dia menegurmu. Dia tak mau kau lebih lama
mengonsumsi hidup yang terdengar manis itu. Sekarang, apa kau ingin
menghabisi waktu yang tersisa sedemikian singkat ini? Asa, euthanasia
bukan jalan keluar. Ia akan makin menambah dosamu," kata Rey panjang
lebar.
***
Asa menerawang langit yang bertabur bintang gemintang. Air matanya
tiba-tiba meleleh. Separo hatinya beterbangan ke masa-masa sebelum dia
divonis kanker otak stadium lanjut. Klub malam, alkohol, dugem, sex, dan
pil-pil itu. Hatinya nanar mengingat masa lalunya sendiri. Sementara,
hati yang lainnya larut dalam hamparan langit malam yang seakan tak
mampu lagi menampung dosanya. Teringat ujar guru mengajinya dulu di TPA
semasa kecil, tentang surga dan neraka. Jika mati, akankah dia menderita
lagi di neraka? Sedangkan dia sudah merasa tak kuat dengan
penderitaanya di dunia?
Ya, dia harus berubah.
Ya, dia harus berubah.
***
Waktu kian menari di tepian hari. Saat hidup adalah kenyataan terindah
yang terpupuh sempurna di bait-bait syair kuasa-Nya. Saat raga dan hati
adalah lakon yang pasti akan tersenyum penuh kemenangan.
Asa itu cerah lagi, tak jadi meredup seiring senja yang membayang.
Sinar-sinar itu membias di antara mentari yang setia terbit. Mata
hatinya mencoba membaca setiap isyarat Rabb-nya.
"Tak ada yang tahu skenario indah-Nya. Kaulah klimaks dari segala
pencarianku. Aku ingin menggenapkan separo dien-ku dengan melewatkan
sisa umurmu denganku," ujar Rey kala itu, setelah acara wisuda berakhir.
Asa merasa tak pantas mendapatkan lelaki seindah Rey.
***
Azan magrib membuyarkan kisah dua tahun silam. Kini, dinikmatinya senyum
Asa yang terpagut di hadapannya. Rasanya bagi Rey, tidak ada lagi
kebahagiaan selain melihat Asa tersenyum. Senyum di senja itu akhirnya
menutup kisah hidup Asa. Dia telah mengembuskan napas untuk terakhir
kalinya.
(Sekarwidya Prabanastiti)
Penulis adalah pelajar SMAN 1 Magetan.
Penulis adalah pelajar SMAN 1 Magetan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar